Surat Al-Baqarah ayat 148
وَلِكُلٍّ
وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ
يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
[Dan
bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kalian (berbuat) yang terbaik. Di mana saja kalian berada
pasti Allah akan mengumpulkanmu semua (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.]
[And
every one has a direction to which he should turn, therefore hasten to (do)
good works; wherever you are, Allah will bring you all together; surely Allah
has power over all things.]
1).
Untuk memahami ayat ini dengan saksama kita harus mengingat kembali bahwa sejak
memasuki Juz 2 (ayat 142) pembahasan masih seputar pemindahan kiblat
dari Baitul Maqdis di Yerussalem ke Baitullah di Mekah. Pahaman itu hendaknya
menjadi permulaan untuk mengetahui apakah dibelakang kata كُلٍّ (kulli,
every, tiap-tiap) sebaiknya dipasangi kata “ummat” atau kata “orang”.
Perhatikan di dua terjemahan yang tersedia. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia,
disertakan kata “ummat”, sementara penerjemah Bahasa Inggeris-nya menyertakan
kata “one” (orang). Kalau kita mencermati sejak awal, yang keberatan
terhadap pemindahan kiblat ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan keberatan
mereka itu bukan atas nama orang per orang, tapi mewakili emosi kelompoknya
sebagai satu ummat. Yang dikeberatani juga begitu; Nabi tidak mewakili
pribadinya, tapi mewakili ummatnya. Sehingga, kelihatannya, yang paling tepat
menyertai kata كُلٍّ (kulli, every, tiap-tiap) ialah kata
“ummat”. Kesimpulan ini diperkuat oleh rentetan pembahasan kata “ummat” yang
selalu terkait dengan Nabi Ibrahim beserta nabi-nabi sesudahnya (yang merupakan
keturunannya)—lihat kembali ayat: 128, 134, 141, dan 143. Kesimpulan ini juga
senafas dengan ayat berikut ini: “Dan Kami telah menurunkan kepadamu
(Muhammad) al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan Kitab Suci (yang
diturunkan) sebelumnya, dan batu ujian terhadap (isi Kitab Suci) tersebut; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian
semuanya akan kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kalian
perselisihkan.” (5:48)
2).
Analisis berikutnya ialah penentuan rujukan dlamir (kata ganti) هُوَ (ɦuwa,
dia) yang ada di frase هُوَ مُوَلِّيهَا (ɦuwa muwallĭɦā).
Kalau هُوَ (ɦuwa, dia)-nya kembali ke kata “ummat”, berarti
maknanya, tiap-tiap ummat mengorientasikan wajah jiwa seluruh pengikutnya ke
kiblat ummat tersebut. Tapi kalau kita kembalikan ke kata “Allah”, berarti
Allah akan mengarahkan wajah jiwa setiap orang ke kiblat keummatannya
masing-masing, karena logikanya, setiap warga suatu ummat secara otomatis
memilih secara sadar dan sukarela kiblat ummat tempatnya bergabung. Tapi tidak
berarti bahwa setiap orang Islam, misalnya, sudah pasti kiblat jiwanya kepada
Allah, Nabi, dan Ka’bah. Cara pandangnya dibalik: kalau ada orang yang mengaku
Islam tapi wajah jiwanya tidak menghadap kepada Allah, Nabi, dan Ka’bah,
berarti yang bersangkutan pada hakikatnya bukan bagian dari ummat Islam. “…Mereka
pada hari itu (yakni saat kalah di Perang Uhud) lebih dekat kepada kekafiran
daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung
dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”
(3:167) Diantara yang berpendapa bahwa kata هُوَ (ɦuwa, dia)
di sini kembali kepada Allah ialah al-Baghawĭ. Pendapat seperti ini mempertegas
bahwa manusia hanya punya kehendak-untuk-memilih, namun semua gerak dan
perbuatan—setelah manusia memilihnya—Allah jualah di belakangnya. “Dan
janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap ummat menganggap baik pebuatan mereka. Kemudian
kepada Tuhanlah mereka semua akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.” (6:108)
3).
Coba resapi ayat yang barusan kita kutip (6:108) kemudian maknai penggalan ayat
ini: فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ
جَمِيعاً [fastabiqul khayrāt ayna mā takŭnŭ ya’ti bikumullahu jamĭ’an,
Maka berlomba-lombalah kalian (berbuat) yang terbaik. Di mana saja kalian
berada pasti Allah akan mengumpulkanmu semua (pada hari kiamat)], niscaya
akan merasakan makna yang hampir sama. Bedanya, di 6:108 nadanya negatif:
larangan mencaci-maki tuhan-tuhan yang ummat lain sembah, walaupun tuhan mereka
itu hanyalah batu atau pohon. Sementara di ayat ini (2:148) nuansanya positif:
(daripada saling memaki maka lebih baik) ber-fastabiqul khairāt
(berlomba-lomba melakukan yang terbaik). Toh semuanya kelak akan kembali kepada
Tuhan yang sama seraya mempertanggungjawabkan pilihan dan amal-perbuatannya
masing-masing. Inilah semangat beragama yang positif. Inilah semangat
kemanusiaan sejati. Inilah Islam. Dengan cara seperti ini, kebenaran ditegaskan
sifat singgularnya, tapi agama diakui sifat pluralnya. Dan pluralitas agama,
setelah mengakui kebenaran agama yang kita anut, tidak perlu melahirkan
perbenturan, apalagi peperangan atas nama agama. “Dan (ciri lain mereka yang
beriman kepada al-Qur’an ialah) apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami
dan bagi kalian amal-amal kalian, salam sejahtera atas kalian, kami tidak
bermaksud mencari (masalah) dengan orang-orang jahil’. Sesungguhnya kalian
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kalian kasihi, tetapi Allah
(jualah yang) memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (28:55-56)
4).
Mengapa Islam mengajarkan sikap tegas dalam memegang kebenaran namun fleksibel
dalam menyikapi perbedaan? Karena berangkat dari keyakinan bahwa seandainya
Allah mau maka seluruh manusia akan dijadikannya seragam dalam berfikir,
seragam dalam memilih, dan seragam dalam perbuatan. إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ (innallāɦa ‘ala kulli syay’in qadĭr, Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu)—lihat 5:48 dan 42:8. Tetapi Allah
tidak melakukan itu. Allah membiarkan setiap hamba-Nya berfikir dan memilih
kemudian berbuat menurut pilihannya masing-masing. Dan kelak di
akhirat—berdasarkan otoritas kekuasaan mutlak yang Dia miliki—akan mengumpulkan
semuanya lalu mengadili mereka berdasarkan pilihan-pilihan mereka tersebut. Itu
sebabnya Allah tidak saja melarang hamba-Nya mengikuti sesuatu yang dia tidak
punya pengetahuan tentangnya, tapi juga melarang berbuat sombong atas kebenaran
yang dianutnya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu
adalah perbuatan buruk yang amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (17:36-38)
5).
Abu Sa’id Al Khudri melaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesuatu yang
paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah sesuatu yang akan dikeluarkan oleh
Allah untuk kalian berupa keindahan dunia.” Para sahabat bertanya: “Lantas
apakah yang dimaksud dengan perhiasan dunia wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Yaitu keberkahan dan kemakmuran bumi.” Mereka bertanya lagi:
“Wahai Rasulullah, apakah kebaikan dapat mendatangkan keburukan?” Beliau
menjawab: “Sesungguhnya kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan
dan kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan, kebaikan tidak
akan mendatangkan kecuali kebaikan…. Sesungguhnya harta benda dunia itu
kelihatannya hijau dan manis. Barangsiapa yang memperoleh harta dengan jalan
halal dan membelanjakannya pada jalan yang benar, maka itulah sebaik-baik
pertolongan. Namun barangsiapa yang memperolehnya dengan jalan yang tidak
halal, maka ia seperti halnya orang yang makan tapi tidak pernah merasa kenyang.”
(HR. Muslim no.1743 dan Musnad Ahmad no. 10611)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar