Rabu, 27 November 2013

Materi PAI Kelas Xi



Surat Al-Baqarah ayat 148

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
[Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (berbuat) yang terbaik. Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkanmu semua (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.]
[And every one has a direction to which he should turn, therefore hasten to (do) good works; wherever you are, Allah will bring you all together; surely Allah has power over all things.]
1). Untuk memahami ayat ini dengan saksama kita harus mengingat kembali bahwa sejak memasuki Juz 2 (ayat 142) pembahasan masih seputar pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis di Yerussalem ke Baitullah di Mekah. Pahaman itu hendaknya menjadi permulaan untuk mengetahui apakah dibelakang kata كُلٍّ (kulli, every, tiap-tiap) sebaiknya dipasangi kata “ummat” atau kata “orang”. Perhatikan di dua terjemahan yang tersedia. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, disertakan kata “ummat”, sementara penerjemah Bahasa Inggeris-nya menyertakan kata “one” (orang). Kalau kita mencermati sejak awal, yang keberatan terhadap pemindahan kiblat ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan keberatan mereka itu bukan atas nama orang per orang, tapi mewakili emosi kelompoknya sebagai satu ummat. Yang dikeberatani juga begitu; Nabi tidak mewakili pribadinya, tapi mewakili ummatnya. Sehingga, kelihatannya, yang paling tepat menyertai kata كُلٍّ (kulli, every, tiap-tiap) ialah kata “ummat”. Kesimpulan ini diperkuat oleh rentetan pembahasan kata “ummat” yang selalu terkait dengan Nabi Ibrahim beserta nabi-nabi sesudahnya (yang merupakan keturunannya)—lihat kembali ayat: 128, 134, 141, dan 143. Kesimpulan ini juga senafas dengan ayat berikut ini: “Dan Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan Kitab Suci (yang diturunkan) sebelumnya, dan batu ujian terhadap (isi Kitab Suci) tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya akan kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kalian perselisihkan.” (5:48)
2). Analisis berikutnya ialah penentuan rujukan dlamir (kata ganti) هُوَ (ɦuwa, dia) yang ada di frase هُوَ مُوَلِّيهَا (ɦuwa muwallĭɦā). Kalau هُوَ (ɦuwa, dia)-nya kembali ke kata “ummat”, berarti maknanya, tiap-tiap ummat mengorientasikan wajah jiwa seluruh pengikutnya ke kiblat ummat tersebut. Tapi kalau kita kembalikan ke kata “Allah”, berarti Allah akan mengarahkan wajah jiwa setiap orang ke kiblat keummatannya masing-masing, karena logikanya, setiap warga suatu ummat secara otomatis memilih secara sadar dan sukarela kiblat ummat tempatnya bergabung. Tapi tidak berarti bahwa setiap orang Islam, misalnya, sudah pasti kiblat jiwanya kepada Allah, Nabi, dan Ka’bah. Cara pandangnya dibalik: kalau ada orang yang mengaku Islam tapi wajah jiwanya tidak menghadap kepada Allah, Nabi, dan Ka’bah, berarti yang bersangkutan pada hakikatnya bukan bagian dari ummat Islam. “…Mereka pada hari itu (yakni saat kalah di Perang Uhud) lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (3:167) Diantara yang berpendapa bahwa kata هُوَ (ɦuwa, dia) di sini kembali kepada Allah ialah al-Baghawĭ. Pendapat seperti ini mempertegas bahwa manusia hanya punya kehendak-untuk-memilih, namun semua gerak dan perbuatan—setelah manusia memilihnya—Allah jualah di belakangnya. “Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap ummat menganggap baik pebuatan mereka. Kemudian kepada Tuhanlah mereka semua akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (6:108)
3). Coba resapi ayat yang barusan kita kutip (6:108) kemudian maknai penggalan ayat ini: فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً [fastabiqul khayrāt ayna mā takŭnŭ ya’ti bikumullahu jamĭ’an, Maka berlomba-lombalah kalian (berbuat) yang terbaik. Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkanmu semua (pada hari kiamat)], niscaya akan merasakan makna yang hampir sama. Bedanya, di 6:108 nadanya negatif: larangan mencaci-maki tuhan-tuhan yang ummat lain sembah, walaupun tuhan mereka itu hanyalah batu atau pohon. Sementara di ayat ini (2:148) nuansanya positif: (daripada saling memaki maka lebih baik) ber-fastabiqul khairāt (berlomba-lomba melakukan yang terbaik). Toh semuanya kelak akan kembali kepada Tuhan yang sama seraya mempertanggungjawabkan pilihan dan amal-perbuatannya masing-masing. Inilah semangat beragama yang positif. Inilah semangat kemanusiaan sejati. Inilah Islam. Dengan cara seperti ini, kebenaran ditegaskan sifat singgularnya, tapi agama diakui sifat pluralnya. Dan pluralitas agama, setelah mengakui kebenaran agama yang kita anut, tidak perlu melahirkan perbenturan, apalagi peperangan atas nama agama. “Dan (ciri lain mereka yang beriman kepada al-Qur’an ialah) apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian, salam sejahtera atas kalian, kami tidak bermaksud mencari (masalah) dengan orang-orang jahil’. Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kalian kasihi, tetapi Allah (jualah yang) memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (28:55-56)
4). Mengapa Islam mengajarkan sikap tegas dalam memegang kebenaran namun fleksibel dalam menyikapi perbedaan? Karena berangkat dari keyakinan bahwa seandainya Allah mau maka seluruh manusia akan dijadikannya seragam dalam berfikir, seragam dalam memilih, dan seragam dalam perbuatan. إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (innallāɦa ‘ala kulli syay’in qadĭr, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu)—lihat 5:48 dan 42:8. Tetapi Allah tidak melakukan itu. Allah membiarkan setiap hamba-Nya berfikir dan memilih kemudian berbuat menurut pilihannya masing-masing. Dan kelak di akhirat—berdasarkan otoritas kekuasaan mutlak yang Dia miliki—akan mengumpulkan semuanya lalu mengadili mereka berdasarkan pilihan-pilihan mereka tersebut. Itu sebabnya Allah tidak saja melarang hamba-Nya mengikuti sesuatu yang dia tidak punya pengetahuan tentangnya, tapi juga melarang berbuat sombong atas kebenaran yang dianutnya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu adalah perbuatan buruk yang amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (17:36-38)
5). Abu Sa’id Al Khudri melaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah sesuatu yang akan dikeluarkan oleh Allah untuk kalian berupa keindahan dunia.” Para sahabat bertanya: “Lantas apakah yang dimaksud dengan perhiasan dunia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu keberkahan dan kemakmuran bumi.” Mereka bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah kebaikan dapat mendatangkan keburukan?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan dan kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan, kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan…. Sesungguhnya harta benda dunia itu kelihatannya hijau dan manis. Barangsiapa yang memperoleh harta dengan jalan halal dan membelanjakannya pada jalan yang benar, maka itulah sebaik-baik pertolongan. Namun barangsiapa yang memperolehnya dengan jalan yang tidak halal, maka ia seperti halnya orang yang makan tapi tidak pernah merasa kenyang.” (HR. Muslim no.1743 dan Musnad Ahmad no. 10611)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar